Jumat, 01 November 2013

Kelas Unggulan dan Akselerasi, Efektifkah?



ABSTRAKSI
Sehubungan dengan diadakannya lomba karya ilmiah remaja oleh TSC Telkomsel yang bertemakan “Pendidikan” kami sebagai penulis dalam  hal ini siswi SMA Negeri 1 MADIUN menyusun karya ilmiah pada tanggal 23 Agustus 2010 sampai 22 September 2010 yang berjudul “Efektivitas Pelasksanaan Sistem Pengelompokkan Siswa Secara Akademis (Program Kelas Unggulan dan Kelas Akselerasi pada Sistem Pendidikan Indonesia)”. Adapun yang melatar belakangi penulis untuk membuat judul seperti tersebut di atas, karena melihat  sistem pendidikan di Indonesia yang melakukan pengelompokkan kelas berdasarkan kemampuan peserta didiknya, dan mengakibatkan dampak-dampak negatif di lingkungannya. Dalam pembahasan ini penulis menggunakan metode analisa data, telaah pustaka yang berasal dari berbagai literatur tentang kelas unggulan dan kelas akselerasi juga dengan metode angket yang berisi 6 buah pertanyaan seputar kelas akselerasi dan kelas unggulan pada 105 siswa siswi di SMAN 1 Madiun, sesuai sub judul yang akan kami bahas. Hasil analisis data angket menunjukkan angka yang menarik, 51% dari responden mengatakan sistem pendidikan di Indoneesia kini sedang buruk. Dan pada pertanyaan terakhir mengenai kelayakan kelas unggulan dan kelas akselerasi dipertahankan di Indonesia, 43% responden sepakat bahwa kelas unggulan dan kelas akselerasi tidak layak dan tidak perlu dilakukan di Indonesia. Fokus utama hasil pembahasan dari perkiraan dampak keberadaan kelas unggulan dan kelas akselerasi dikalangan masyrakat dan pelajar, ternyata pelaksanaan  kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki banyak dampak dari segi sosial dan dampak tersebut ternyata bukan diakibatkan pada sistemnya, melainkan pelaksanaannya di sekolah. Berdasarkan analisis data, siswa kelas unggulan dan kelas akselerasi akan mengalami kesulitan dalam bergaul dikehidupan sehari-hari. Dan pelajar kelas reguler akan mengalami krisis percaya diri akibat kesenjangan yang semakin terlihat dan tekanan guru yang membanggakan kelas unggulan dan akselerasi. Dampak terburuk adalah identitas kelas unggulan dan kelas akselerasi yang dipandang sebagai wadah penggarukkan dana bagi siswa yang mampu dan kaya.



Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1             Latar Belakang
Pada era reformasi ini, sistem pendidikan Indonesia mengalami banyak perombakan dan perubahan. Dimulai dari meningkatnya standar nilai Ujian Nasional, bertambahnya mata pelajaran yang diujiankan dan masih banyak lagi. Namun, ada satu hal dari berbagai perubahan yang terjadi pada sistem pendidikan negeri kita yang menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat yakni, adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi. Banyak sekolah lanjutan yang mengadakan kelas khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan daya tangkap yang cepat, IQ yang tinggi, dan berotak cerdas. Murid-murid yang berada didalam kelas khusus ini dituntut untuk memiliki kemampuan belajar yang tinggi daripada murid kelas reguler. Menurut UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 5 Ayat 4 dikatakan bahwa warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Disamping itu, juga dikatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuanya (Pasal 12 Ayat 1 b). Menurut seorang pakar pendidikan, Prof Dr Arief Rachman di sela seminar “Mengajar Cerdas untuk Cerdas Belajar” di Jakarta, pemerintah mestinya konsisten menjalankan tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam UU Sisdiknas Pasal 3 mengenai kelas khusus. “UU dan tujuan di dalamnya sudah bagus, hanya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahnya saja yang salah,” ujar Arief. Murid kelas unggulan biasanya memiliki nilai rasa istimewa dimata para guru di sekolah. Kemampuan yang lebih bagus, nilai yang tinggi, metode pengajaran yang bagus, membuat kelas unggulan dan akselerasi semakin istimewa.
Namun sadarkah bahwa kelas unggulan dan akselerasi menimbulkan banyak kesan dan dampak bagi orang yang berada disekitar mereka? Pengistimewaan guru dan sekolah terhadap kelas unggulan dan akselerasi ini membuat kelas reguler di-anaktiri-kan. Untuk di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) favorit misalnya, penerimaan siswa (reguler) baru ditetapkan syarat NUN minimal 35,00 (misalnya). NUN 35,00 bukanlah NUN yang rendah. Namun, dengan NUN setinggi itu, para murid SMP yang ingin melanjutkan ke SMA  hanya dapat masuk di kelas reguler. Jika ingin masuk kelas unggulan atau akselerasi, siswa harus memenuhi beberapa syarat lain selain NUN yang lebih tinggi. Memenuhi administrasi yang lebih mahal, misalnya. Padahal murid-murid yang memiliki IQ tinggi dan pintar bukan hanya mereka yang berasal dari keluarga yang berada saja. Melainkan juga, mereka berasal dari keluarga tak mampu.
Dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengungkapkan kelemahan dan kelebihan serta dampak-dampak yang diakibatkan oleh adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi ini melalui karya tulis yang berjudul “Efektivitas Sistem Pengelompokkan Siswa Secara Akademis”. Banyaknya kesenjangan sosial yang terjadi dalam di sekolah khususnya antar siswa, menarik minat penulis untuk membahasnya dalam karya tulis ini. Penulis juga akan membahas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh kelas unggulan dan kelas akselerasi dan cara mengatasinya.
1.2             Rumusan Masalah
a.    Apakah keberadaan kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki dampak negatif secara sosial?
b.    Apakah kelas unggulan dan kelas akselerasi layak dipertahankan keberadaannya di Indonesia?
1.3            Hipotesis
a.     Keberadaan kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki dampak negatif secara sosial.
b.    Kelas unggulan dan kelas akselerasi layak dipertahankan dan diteruskan di sekolah di Indonesia, namun ada beberapa metode yang harus diubah dan diperbaiki.
1.4            Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui sistem pengajaran kelas unggulan dan kelas akselerasi yang sedang banyak diterapkan;
b.      Mengetahui dampak-dampak yang muncul dari keberadaan kelas unggulan dan kelas akselerasi;
c.       Memberikan solusi dalam rangka upaya mengatasi kontroversi dan kesenjangan yang terjadi dikalangan masyarakat terhadap kelas unggulan dan kelas akselerasi;
d.      Partisipasi dalam mewujudkan program pendidikan pemerintah;
e.       Ikut mengambil bagian dalam mengangkat reputasi SMA N 1 Madiun.
1.5             Manfaat Penulisan
a.       Bagi Penulis
Penulisan karya tulis ini bermanfaat pada peningkatan wawasan terhadap sistem pendidikan Indonesia, khususnya kelas unggulan dan kelas akselerasi.
b.      Bagi Masyarakat
Melalui penulisan ini, masyarakat dapat mengerti dan mengetahui sistem pendidikan Indonesia, khususnya kelas unggulan dan kelas akselerasi, serta tak memandang dari sisi negatifnya saja.
c.       Bagi Pelajar
Mereka yang masuk dalam program kelas unggulan dan akselerasi ini diharapkan mereka mampu memposisikan dirinya dan tidak tinggi hati. Untuk pelajar reguler,  mereka mengetahui kelebihan kelas unggulan dan termotivasi terhadap kelas tersebut.

1.6             Ruang Lingkup
Dalam penulisan ini, ruang lingkup pembahasan kami batasi pada kelas unggulan dan kelas akselerasi tingkat Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Indonesia, secara mayoritas. Dan dampaknya secara sosial.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN EFEKTIVITAS
Menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :
“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”.
Sedangkan pengertian efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35) adalah sebagai berikut :
“ Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Adapun pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984) adalah :
“ Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input “.

2.2 PENGERTIAN SISTEM
Istilah sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.
Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :
1.      L. James Havery
Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
2.      John Mc Manama
Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
3.      C.W. Churchman.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.
4.      J.C. Hinggins
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.
5.      Edgar F Huse dan James L. Bowdict
Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan.
2.3 PENGERTIAN PENGELOMPOKKAN
1.    Berdasarkan kemampuan
Ø  Kemampuan siswa dalam setiap pelajaran tidak sama. Bisa saja siswa yang kuat di bahasa, ternyata lemah di matematika.
Ø  Pengelompokkan kemampuan siswa dapat berubah sewaktu-waktu dan berubah-rubah untuk setiap mata pelajaran, bahkan untuk suatu konsep tertentu. Akan mudah bagi seorang guru apabila siswa yang memilliki kemampuan yang sama berada duduk di meja yang sama.
Ø  Guru dapat memotivasi dan menjelaskan materi pada saat yang bersamaan. Guru dapat berkeliling untuk melihat sejauh mana perkembangan kemampuan setiap siswa.
Ø  Contoh Pengelompokkan berdasarkan kemampuan adalah adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi.
ü  Kelas Unggulan
Kelas Unggulan adalah kelas yang dipersiapkan secara dini untuk pengembangan kelas yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.          Memiliki sejumlah siswa dengan minat, bakat, kemampuan, dan kecerdasan yang tinggi.
2.          Diasuh oleh sejumlah pembimbing/guru/tutor yang profesional dan handal di bidangnya.
3.          Melaksanakan kurikulum dengan menekankan pada mata pelajaran Matematika, IPA, Seni, Olahraga, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Ketrampilan Komputer.
4.          Didukung sarana dan prasarana yang memadai, antara lain :
a.         Kelas yang nyaman dan representatif.
b.        Laboratorium IPA, Bahasa dan Komputer.
c.         Ruang Pusat Belajar Sekolah (PBS) multimedia yang dilengkapi dengan sistem audiovisual yang lengkap.
d.        Perpustakaan yang memiliki minimal 2.000 judul buku yang relevan dan ruang yang cukup luas untuk belajar sendiri.
e.         Lapangan olahraga dan atau ruangan yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani dan peningkatan prestasi.
f.         Ruang pengembangan minat dan bakat siswa lengkap dengan peralatan yang dibutuhkan.
g.        Suasana belajar dan lingkungan yang kondusif.
h.        Buku belajar, diktat dan bang soal latihan yang menunjang.
i.          Waktu belajar Senin s/d Sabtu jam 14.00 s/d 15.30 Wib.
j.          Jumlah siswa di kelas antara 20 s/d 30 siswa menjadi lebih efektif.
k.        Di dalam kelas dilengkapi dengan alat pembelajaran yang lengkap dan memadai.
ü  Kelas Akselerasi
Menurut Dr.E.Mulyasa (2003:161) akselerasi berarti belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dapat menyeleseikan pelajarannya lebih cepat dari masa belajar yang ditentukan. Akselerasi belajar tidak sama dengan loncat kelas sebab dalam akselerasi belajar setiap siswa tetap harus mempelajari seluruh bahan yang seharusnya dipelajari. Akselerasi dapat dilakukan dengan bantuan modul atau lembar kerja yang disediakan sekolah. Melalui akselerasi belajar peserta didik yang berkemampuan tinggi dapat mempelajari seluruh bahan pelajaran dengan lebih cepat dibandingkan peserta didik yang lain.
Menurut Mimin Haryati (2006:95-96), akselerasi berarti percepatan belajar sebagai implikasi dari system belajar tuntas ( master learning) juga menunjukkan adanya siswa yang memiliki kecerdasan luar biasa dan mampu mencapai kompetensi yang telah ditetapkan jauh lebih cepat dan mempunyai nilai yang amat baik (>95)
Menurut Drs. B. Suryo Subroto (1997:123) akselerasi dikienal dengan nama maju berkelanjutan yang artinya adalah system administrasi kurikulum yang memberikan kesempatan pada setiap siswa dapat mengikuti pelajaran sesiau irama kecepatan belajrnya sendiri. Maju berkelanjutan dibagi menjadi 3 sistem, yaitu :

1. Maju berkelanjutan kelompok
2. Maju berkelanjutan individu
3. Maju berkelanjutan berdasarkan perbedaan studi
Program Akselerasi adalah sebuah program percepatan waktu belajar yang diadakan oleh sekolah. Program ini ditujukan kepada siswa-siswi dengan kemampuan belajar yang lebih, sehingga dapat mempersingkat waktu belajarnya di sekolah. Siswa-siswi yang masuk dalam program ini biasanya memiliki kemampuan menyerap informasi dengan cepat dan kemampuan mengendalikan masalah-masalah emosionalnya Oleh karena itu diperlukan tahapan-tahapan seleksi untuk menguikuti program ini (percepatan belajar).
Kelas akselerasi (aksel) merupakan wadah pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki potensi dan keunggulan dalam kecakapan, minat, dan bakat. Keistimewaan program akselerasi memang tidak bisa diremehkan. Salah satu program pendidikan luar biasa (PLB) ini diisi anak-anak yang memiliki IQ di atas 125.

2. Berdasarkan kegiatan
Ø Pada proses belajar dengan jenis pengelompokkannya berdasarkan kebutuhan saja.
Ø Pada saat pengelompokkan, bisa saja berubah-rubah kapan saja dan anggota kelompok bisa tidak sama dimana tujuan akhirnya adalah ke pekerjaan yang ditugaskan. Tugas kelompok akan sangat baik bagi siswa karena akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter.
Ø Dalam tugas kelompok, siswa akan belajar menjadi seorang pemimpin, anggota kelompok yang baik, bagaimana harus mendengarkan pendapat temannya, memberikan usulan dan sebagainya.

3.    Berdasarkan Sosial Emosional
Ø  Tidak semua siswa memiliki kematangan emosi yang sama, sifatnya pun berbeda pula. Untuk membantu sosial emosional siswa, guru dapat mengelompokkan mereka dengan melihat karakter yang ada. Misalnya, untuk siswa yang pemalu dapat dikelompokkan dengan siswa yang agak berani, agar termotivasi dalam mengekspresikan diri.
Ø  Kegiatan yang diberikan dapat berupa kegiatan apa saja. Pengelompokkan ini harus direncanakan pula dalam penulisan lesson plan, dan akan sangat bermanfaat pada saat memberikan laporan kepada orang tua murid.
Ø  Banyak orang melupakan perkembangan sosial emosional siswa, padahal hal ini akan sangat berpengaruh terhadap learning style siswa bersangkutan.








BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
3.1 Kelas Unggulan dan Kelas Akselerasi
            Setiap akhir tahun dan menjelang kelulusan, siswa SD dan SMP yang hendak melanjutkan belajarnya ke sekolah lanjutan mulai memilah-milah sekolah-sekolah lanjutan yang baik dan berkualitas. Tak heran bila sekolah favorit selalu menjadi incaran para murid dan orang tua. Orang tua mana yang tak ingin anaknya melanjutkan studinya ke sekolah yang bagus dan bermutu. Sekolah-sekolah pun mulai melakukan penataan kelas sesuai dengan kemampuan peserta didiknya.
Pembedaan kelas sesuai kemampuan peserta didik, seperti kelas unggulan masih menjadi kontroversi. Banyak yang setuju, dan tak sedikit yang menentang. Prof Suyanto -Rektor Universitas Negeri Yogyakarta- dengan tegas menyatakan pengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas “gombal”, tidak memiliki dasar filosofi yang benar.
Meletakkan siswa jenius dalam kelas unggulan tak jauh berbeda dengan pengertian memperbodoh kelas reguler. Jika semua siswa jenius dan cerdas berada di kelas unggulan dan kelas akselerasi, maka siswa yang berada di kelas reguler adalah siswa buangan dengan kemampuan yang rendah.
Beberapa sekolah yang tak menggunakan sistem kelas unggulan dan kelas akselerasi bukan berarti mereka tak memiliki murid yang cerdas didalamnya. Namun sekolah tersebut meratakan murid-murid cerdas tersebut dalam tiap-tiap kelasnya. Prinsip manusia makhluk sosial tak dapat terlepas dari diri manusia sendiri. Baik kecil maupun dewasa, manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan. Sama halnya pada murid di sekolah. Murid yang kurang pandai akan berusaha bertanya dan belajar dengan teman sepermainannya dikelas yang lebih cerdas darinya. Namun hal ini akan percuma apabila murid cerdas di sekolah tersebut diletakkan pada kelas unggulan atau kelas akselerasi. Murid yang pintar akan semakin pintar sedangkan murid yang motopolodu (bodoh) akan semakin memburuk dan tak bisa membaik.
Dampak lain yang tak kalah menonjol adalah pengistimewaan yang dilakukan guru dan sekolah terhadap kelas unggulan dan kelas akselerasi  secara berlebihan. Sekolah yang telah memiliki kelas unggulan dan kelas akselerasi tidak menggunakan guru yang berbeda untuk mengajar dikelas unggulan dan kelas reguler. Kalaupun menggunakan guru yang tidak mengajar di kelas reguler, itupun hanya beberapa guru saja. Dan guru yang mengajar di kelas unggulan atau kelas akselerasi lebih baik dan lebih bermutu daripada yang mengajar di kelas reguler. Guru yang mengajar di dua kelas ini cenderung membanggakan kelas unggulan daripada kelas reguler. Oleh karena itu, guru sering membandingkan antara kelas unggulan dan kelas reguler. Padahal tanpa dibandingkanpun, kelas unggulan dan kelas reguler sudah tampak sangat berbeda. Gurupun tidak menyadari dampak psikologi yang terjadi pada kelas reguler. Niat para guru yang awalnya membangkitkan motivasi siswa reguler, justru menjatuhkan  semangat dan harapan mereka.  Setiap guru dan sekolah di Indonesia, baik di pusat maupun di  desa, yang mengadakan program kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki niat dan tujuan yang baik yakni memacu semangat para peserta didik untuk berlomba dan beradu otak menjadi siswa yang terbaik ada di kelas yang istimewa ini. Namun, dengan adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi ini, mereka seakan lupa bahwa seluruh siswa di Indonesia memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu dengan taraf dan standar nasional.
Dalam proses pembelajaran, pengelompokan secara kemampuan per kelas juga akan menumbuhkan perilaku instruksional yang semu dari guru kepada anak didiknya. Di kelas superbaik, guru bisa tampil penuh gairah karena munculnya fenomena positive hallow effect terhadap anak-anak berotak “brilian”. Sebaliknya, di kelas “gombal” guru cenderung masa bodoh akibat munculnya fenomena negative hallow effect terhadap kelompok siswa berotak pas-pasan. Guru menjadi malas dan menganggap mereka yang tidak berada di kelas superbaik, adalah murid yang sangat bodoh dan berotak lemah (lemot). Padahal mereka yang berada dikelas non unggulan bukan berarti mereka bodoh. Justru mereka adalah anak Indonesia sesungguhnya yang memiliki otak dan kemampuan rata-rata normal. Diberlakukannya kelas unggulan dan kelas akselerasi adalah sebagai wadah bagi mereka yang memilki kemampuan istimewa dan lebih cepat dari mereka yang normal. Namun, hal ini bukan berarti mereka adalah siswa segalanya yang super bisa dan super pintar sedangkan mereka yang dikelas reguler adalah siswa yong bodoh.

3.2 Spesifikasi Dampak Kelas Unggulan dan Kelas Akselerasi
            Keberadaan kelas unggulan dan akselerasi di sekolah banyak menuai pro dan kontra. Sesungguhnya, pro dan kontra yang ada bisa diatasi, apabila sekolah yang bersangkutan memang menyetarakan kualitas peserta didik secara adil dan bijaksana. Adanya kelas unggulan atau kelas akselerasi menuai banyak protes karena mereka diibaratkan mutiara ditengah lumpur. Sebutan kelas unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81). Mereka merasa sekolah tempat mereka menuntut ilmu adalah favorit, tetapi bukan karena keberadaan kelas reguler yang jumlahnya lebih banyak dari kelas unggulan melainkan karena anak-anak cerdas di kelas unggulan. Akibat negatif yang ditimbulkan oleh eksklu(sifi)sasi/pengistimewaan anak cerdas tersebut adalah sebagai berikut;
a.         SPIRIT KOMPETISI
Terbunuhnya semangat kompetisi di kalangan siswa yang berkapasitas otak ‘rata-rata’ ke bawah. Ini menyangkut faktor psikologis, kepercayaan diri, motivasi. Memang, maksud diciptakannya kelas dan sekolah eksklusif seperti itu agar para siswa termotivasi untuk masuk ke dalamnya. Tetapi apa yang terjadi, justru lebih banyak siswa yang semakin minder dan bersikap pasrah saja melihat kemajuan kawan-kawannya. Contohnya, di setiap jenis perlombaan yang digelar, hampir bisa dipastikan bahwa sekolah unggulan dan atau kelas khusus senantiasa mendominasi. Dalam meeting class internal sekolah, misalnya, kelas khusus selalu menjadi yang terbaik; dari lomba cerdas-cermat per mata pelajaran, lomba pidato, lomba majalah dinding, bahkan mungkin sampai lomba kreatifitas masak-memasak. Harapan satu-satunya bagi kelas reguler mungkin hanya dalam lomba olah raga—itu pun gelar juaranya berpeluang ‘disikat’ pula oleh murid dari kelas khusus.
Pada akhirnya siswa-siswa yang tidak duduk di kelas khusus putus asa. Mereka tak lagi pernah menargetkan diri menjadi yang terbaik. Target termuluk bagi mereka adalah menjadi nomor dua di bawah kelas khusus. Kasihan. Padahal berputus asa untuk menjadi yang terbaik hukumnya adalah haram. Sayang sekali pengalaman para siswa itu selalu menunjukkan bahwa predikat terbaik itu ‘wajib’ merupakan milik kelas khusus.
Pembentukan kelas unggulan dan kelas akselerasi secara tidak disadari telah membunuh spirit kompetisi bagi mayoritas siswa. Entah sampai kapan ketidakpercayaan-diri itu tumbuh dan berkembang dalam sanubari sebagian besar calon-calon SDM pembangun daerah ini.

b.        TRANSFER OF KNOWLEDGE
 Tidak terjadi transfer of knowledge dari siswa cerdas kepada siswa tak cerdas. Ini menyangkut metode komunikasi untuk memasukkan mata pelajaran ke dalam otak siswa. Bahasa yang digunakan oleh buku dan para guru umumnya mendapat perhatian dan dimengerti hanya oleh murid-murid cerdas. Murid-murid lain baru dapat memberi perhatian lalu mengerti pelajaran-pelajaran tersebut jika dijelaskan oleh kawannya sendiri dengan bahasa mereka sendiri. Bukankah itu tujuan utama dari belajar kelompok?
Namun, ketika anak-anak cerdas itu ‘dikarantina’ di kelas unggulan dan kelas akselerasi, kelompok-kelompok belajar yang dibentuk oleh siswa lainnya justru menjadi tidak efektif. Bagaimana bisa efektif jika anggota kelompoknya sama-sama tak mengerti dengan pelajarannya? Sementara kelompok belajar di kelas-kelas khusus juga tidak efektif. Apalagi mereka sudah sama-sama mengerti pelajarannya—lalu untuk apa lagi belajar kelompok?
Siswa kelas unggulan atau kelas akselerasi cenderung menjadi individual learner. Dia memang bertambah pandai dengan cara itu. Tetapi bukankah dia menjadi jauh lebih cerdas bila mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada kawan-kawan yang belum mengerti? Dengan begitu dia menjadi lebih berguna daripada sekadar menjadi anak pintar.

c.         KEPEKAAN SOSIAL
Tidak terasahnya kepekaan sosial dari siswa-siswa yang cerdas. Siapa saja tentu menjadi lebih dekat secara personal tatkala sering bersua. Ketika anak-anak cerdas disatukan dalam sebuah kelas atau sekolah, mereka terbiasa bergaul sesama anak cerdas dengan menggunakan bahasa dan perilaku yang lebih cerdas daripada kelas atau sekolah lainnya. Pendek kata, kelas khusus seakan lebih berperadaban daripada kelas lain. Sedangkan kelas biasa yang jumlahnya lebih banyak itu terkesan relatif lebih bebas bergaul dibanding kelas khusus.
Coba tanyakan kepada polisi yang sering menangkap anak-anak lauka (pembolos) yang nongkrong di Pasar Sentral. Adakah di antara murid yang tertangkap itu masuk dalam kelas unggulan atau kelas akselerasi? Tentu tidak pernah ada. Kenapa bisa jadi begitu? Sebab kondisi di sekolah tidak memberikan peluang bagi bersatunya anak-anak cerdas dengan anak-anak yang tidak cerdas. Dan hal itu menjadi salah satu pemantik rasa minder di hati anak tak cerdas dan berujung pada pembolosan.
Sementara itu para siswa kelas unggulan dan kelas akselerasi  semakin menghampiri keadaan ‘buta sosial’. Mereka tidak terbiasa hidup dan bergaul dengan kawan sebayanya yang kurang cerdas. Padahal manusia-manusia yang kurang cerdas itulah yang akan menjadi konstituen terbesar mereka kelak di kemudian hari bila mereka menjadi pemimpin. Kepekaan sosialnya minim.
Terlebih kelas akselerasi yang mempersingkat ‘umur’ mereka. Dalam waktu 2 tahun, siswa akselerasi tentu kesulitan membuka pergaulannya karena tuntutan belajar yang cepat. Siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif. Padatnya materi yang harus mereka terima, banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual yang mereka miliki dan teman-teman sekelas yang rata rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka selesaikan sendiri.
Hal inilah yang menimbulkan kesan siswa akselerasi cenderung tertutup dan menutup diri. Sehingga kepekaan sosial siswa akselerasi cenderung rendah.
Memang kita bisa berdalih bahwa kepekaan sosial itu bisa timbul dengan sering mengunjungi panti-panti asuhan, misalnya. Tetapi, sebetulnya kepekaan sosial itu bisa terasah dengan baik bila si anak yang cerdas itu hidup dan bersatu dengan lingkungan umum. Itulah yang tidak mereka peroleh di kelas unggulan dan di kelas akselerasi.
Murid kelas unggulan atau kelas akselerasi cenderung membangun pola pikir empirik. Mereka nantinya lebih siap menjadi seorang spesialis daripada seorang jeneralis. Bila pola pikir itu mereka pertahankan sampai di bangku kuliah, anak-anak jenius itu bakal menjadi ahli di bidang ilmu pasti. Padahal untuk menjadi seorang pemimpin, dia harus berfikir dan bertindak jeneralis—dan untuk dapat melakukan itu maka si calon pemimpin mesti memiliki modal kepekaan sosial yang tinggi.

d.        KESENJANGAN
Kelas unggulan dan kelas akselerasi hanya menambah kesenjangan sosial yang  tajam sekarang ini. Sebagai contoh, murid-murid MAN Insan Cendekia (MIC) dan SMU Wirabakti di Gorontalo, hampir tidak ada yang berasal dari kelas ekonomi lemah. Mayoritas siswa tersebut memiliki orang tua yang ber-uang misalnya pejabat eksekutif daerah, anggota dewan, kontraktor atau pengusaha non kontraktor. Mereka dengan mudah dapat memperoleh fasilitas pribadi seperti buku pedoman belajar, internet, sampai penggaris canggih.
Sementara, murid di kelas reguler sekolah negeri kebanyakan tidak memiliki itu semua. Bahkan, ada kelas yang semua siswanya berasal dari kerluarga tidak mampu. Kalau pun ada anak-anak cerdas dan memiliki fasilitas, mereka sudah eksklusif di kelas khusus.
Kualitas guru yang bagus, sistem belajar yang baik, dan segala fasilitas yang mewah belum tentu dapat membuat siswa berprestasi jika siswa yang masuk di kelas itu bukanlah siswa yang pandai.
Tampaknya kita lengah oleh ambisi kita untuk menciptakan anak-anak cerdas di daerah ini. Hal ini disebebkan kita tidak ikut menciptakan pemerataan kecerdasan itu. Kecerdasan seakan hanya dimiliki anak orang berada. Kita terjebak lingkaran setan yang sudah ada sejak jaman Belanda; “Karena miskin maka bodoh, karena bodoh maka miskin”. Perbedaan kita dengan penjajah Belanda adalah kompeni sengaja menciptakan lingkaran setan itu sedangkan kita tidak sengaja. Ketika Indonesia masih belum merdeka, Belanda pun menciptakan sekolah bagi kaum bangsawan dan orang kaya.


e.         DEHUMANISASI
Terjadi dehumanisasi pada proses belajar di sekolah. Materi pelajaran yang diselesaikan oleh siswa reguler selama satu hanya dipelajari siswa akselerasi selama satu semester (setengah tahun). Dengan alokasi waktu yang jauh lebih pendek ini mau tidak mau siswa harus giat belajar. Hal ini bagi mereka memang memungkinkan karena dilihat dari segi intelektual dan potensi yang dimiliki. Tetapi, mereka bukanlah mesin yang bisa diset untuk hanya melakukan satu aktivitas.

3.3 Kelas Unggulan sebagai Penyubur Mediokritas
Lain halnya dengan pendapat kelompok yang pro kelas unggulan, Prof Liek Wilardjo -fisikawan dari UKSW- justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya.
Jika anak-anak berbakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siswa pintar.
Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas. Anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya sehingga anak-anak tersebut mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara, anak-anak lamban hanya “jalan di tempat”.
Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder dianggap terlalu berlebihan. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas tersendiri – seperti halnya yang terjadi di Inggris – justru diyakini dapat memudahkan penanganannya secara khusus. Pandangan Prof Liek Wilardjo senada dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian khusus.
Menurut Prof Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural.
Hal diatas adalah salah satu kelebihan diadakannya kelas unggulan dan kelas akselerasi. Sistem Pendidikan Indonesia dipandang cenderung latah terhadap sistem pendidikan di Inggris yang menerapkan sistem kelas khusus ini. Indonesia menerapkan tanpa memerhatikan kondisi sosial dan ekonomi yang ada di kalangan generasi penerusnya.
Kalau hal ini terjadi, dunia pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membuat mereka menjadi asing di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Masih banyak daerah  yang tingkat kebodohannya tinggi dan  tidak tersentuh penanganan pendidikan pemerintah. Sedangkan di kota-kota besar persaingan antar sekolah meningkat tajam. Sehingga menghasilkan ratusan murid cerdas secara tidak merata. Apabila ini terjadi, akan berimbas pada kesenjangan kemajuan kota dan daerah di Indonesia. Di kota besar banyak murid pandai,  sedangkan pada daerah yang tidak tersentuh pendidikan akan semakin terbelakang. Ada beberapa faktor yang harus dicapai bila sekolah tersebut bisa dikategorikan sekolah unggul:
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional
Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah yang maju namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah.
Penelitian Standfield, dkk (1987) selama 20 bulan di Sekolah Dasar Garvin Missouri dan Gibbon (1986) di sekolah-sekolah negeri di Ohio selama tahun ajaran 1982/1983, keduanya menemukan bahwa peran kepala sekolah yang efektif dan profesional mampu mengangkat nama sekolah mereka sehingga mampu memperbaiki prestasi akademik mereka.
2. Guru-guru yang tangguh dan profesional
Guru merupakan ujung tombak kegiatan sekolah karena berhadapan langsung dengan siswa. Guru yang profesional mampu mewujudkan harapan-harapan orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari di dalam kelas.
3. Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas
Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah.
4. Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran
Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, di bawah pohon atau di dalam gerbong kereta api -siapa yang sudah baca Toto Chan?- Yang jelas lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa
5. Jaringan organisasi yang baik
Jelas, organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas.
6. Kurikulum yang jelas
Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang sentralistik dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan hanya memuat 20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan mengajar guru dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga sentralistik menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan budayanya.
Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan kurikulum disesuaikan di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan pembelajaran diserahkan kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan target pencapaian pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya. Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya mampu dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.
7. Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan
Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentivikasi dan dapat terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.
8. Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.
Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah. Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat, yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara perorangan. Namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM Indonesia.


3.4 Kekeliruan Kelas Akselerasi
Kelas akselerasi baru resmi diakui dengan keluarnya beleid Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pada 2000. Saat itu Depdiknas menetapkan sebelas sekolah sebagai penyelenggara kelas akselerasi. Namun, pada tahun 2004 saja sudah tercatat ada 56 kelas akselerasi tersebar di berbagai sekolah di daerah. Diperkirakan pada tahun 2010, Terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat TK hingga SMA di Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan murid lebih dari 3.000 orang.
Berikut data jumlah SMPN dan SMAN yang memiliki kelas akselerasi yang ada di beberapa  kota-kota besar/ ibukota provinsi.

Nama Kota
Jumlah Sekolah Berakselerasi
Jakarta
6
Surabaya dan sekitarnya
6
Semarang
4
Makassar
3
Madiun
4

Keberadaan kelas akselerasi di tiap kota menunjukkan angka yang tinggi. Bila di setiap kota di Indonesia memiliki SMPN dan SMAN yang berakselerasi mencapai 3-5 sekolah, bisa dibayangkan betapa menjamurnya kelas akselerasi di Indonesia.  Kepada dunia pendidikan Indonesia, akselerasi harus mampu membuktikan bahwa program ini bukanlah sekedar program coba-coba atau trial and error yang memang senantiasa menjadi ciri khas dunia pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan harus mengakui bahwa akselerasi mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki kompetensi yang sejajar atau bahkan lebih dari lulusan yang ada selama ini. Bahkan, program ini harus mampu menjadi sebuah proyek percontohan bagi jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus di Indonesia. Dengan keberanekaragaman kebutuhan khusus peserta didik, sekolah harus terus dipacu untuk mampu meningkatkan layanan kepada mereka yang unik dan memiliki karakter khas sebagai pengakuan kepada peserta didik secara utuh.
Kepada bangsa Indonesia, mungkin program ini harus mampu menunjukkan sebuah karya nyata bagi bangsa dengan menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat atau memberikan catatan prestasi tinggi di dunia internasional sehingga mampu mengangkat nama bangsa dikancah pendidikan internasional.
Namun pelaksanaan program Akselerasi tak jauh berbeda dengan program kelas unggulan yang menuai pro dan kontra. Program Akselerasi pun mengalami banyak kekeliruan pada praktik lapangannya. Beberapa kekeliruannya yaitu :
a.         Menurunkan standar minimal bagi siswa dalam mengikuti program ini. Misalnya standar minimal IQ yang seharusnya minimal 130 skala Cettel diturunkan menjadi 120-125 dengan maksud untuk menambah jumlah siswa yang dapat mengikuti program akselerasi. Selain IQ, perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap indikator lainnya seperti Task Commitment dan Creativity Quotient. Atau merekayasa indikator lainnya, seperti hasil test akademis yang minimal 8 menjadi cukup hanya dengan angka 7 atau dengan tidak menjadikan track record (misalnya indeks raport) siswa selama di SD sebagai bahan pertimbangan.
Kekeliruan ini melahirkan anggapan bahwa program akselerasi sebagai program asal coba dan asal jadi yang membebani siswa dengan beban akademis yang tinggi dan tugas yang banyak. Padahal apabila proses penjaringan dan penyaringan berjalan sesuai aturan dan prosedur, siswa akan mampu mengikuti program ini dengan sangat-sangat baik.

b.         Sekolah menawarkan pilihan kepada siswa atau orang tua untuk mengikuti program akselerasi atau tidak. Padahal program akselerasi bukanlah program pilihan karena program ini harus memenuhi standar yang telah baku dan bersifat menetap, yaitu IQ. Dengan menawarkan pilihan, maka dimungkinkan siswa yang tidak memenuhi standar IQ dapat mengikuti program ini selama memenuhi syarat “administrasi” kepada sekolah.
Kekeliruan ini membuat masyarakat menaruh curiga terhadap program akselerasi yang seolah-olah menjadikan program ini sebagai ajang untuk mengeruk dana dari orang tua siswa.

c.         Program Akselerasi dianggap sebagai icon atau simbol prestise maka sekolah memberikan beberapa keisitimewaan seperti fasilitas atau sarana belajar yang lebih lengkap di kelas akselerasi. Kesenjangan ini akan menimbulkan kecemburuan dari kelas lain yang merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama namun diperlakukan berbeda. Alasan sekolah melakukan keistimewaan disebabkan karena alasan dana. Biasanya di sekolah tertentu karena siswa akselerasi dipungut biaya pendidikan lebih dari kelas reguler, sekolah menganggap bahwa penambahan fasilitas untuk kelas akselerasi menjadi sesuatu yang wajar. Padahal tanpa fasilitas dan perlakukan yang berbeda sekalipun secara psikologis dan pergaulan siswa akselerasi telah merasa berbeda dengan kelas lainnya.
Dampak dari perbedaan perlakuan ini akan semakin memperdalam jurang perbedaan antara program akselerasi dengan program reguler yang akhirnya dapat menciptakan suasana belajar yang kurang kondusif bagi siswa.
  
3.5 Analisis Data Angket 
    Dalam penelitian ini, kami juga menggunakan metode angket untuk melengkapi penelitian kami. Hari Senin-Selasa, 20-21 September 2010 lalu, kami membagikan angket kepada 105 siswa/i kelas akselerasi, kelas unggulan dan kelas reguler, berkaitan dengan kelas unggulan dan kelas akselerasi. Berikut diagram hasil data kami.

 

Diagram diatas menunjukkan bahwa 51% dari sampel mengatakan sistem pendidikan Indonesia masih buruk dan perlu dibenahi. Dan angka yang tak jauh berbeda adalah 44% sampel yang mengatakan sistem pendidikan Indonesia biasa, tidak buruk dan juga bukan baik.



Diagram diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menyetujui adanya sistem pengelompokkan(kelas unggulan dan kelas akselerasi) karena siswa yang memiliki kemampuan berbeda harus berada di kelas yang memiliki sistem yang berbeda pula namun mereka pun sepakat bahwa program ini tidak boleh menyebabkan kesenjangan sosial agar murid-murid yang berada didalam kelas khusus dan kelas reguler tidak merasa berbeda satu sama lain.


Diagram diatas menunjukkan 55% sampel berpendapat bahwa kelas unggulan  mampu memengaruhi minat belajar di kelas reguler menjadi lebih semangat dan termotivasi. Dan 40% berpendapat bahwa klas reguler cenderung minder dan pesimis untuk dapat bersaing dengan kelas unggulan.



Pada diagram diatas, 59% sampel berpendapat bahwa kelas akselerasi akan mengalami kesulitan bergaul daripada siswa kelas reguler. Karena lama belajar siswa akselerasi yang lebih cepat dan dituntut mengejar materi pelajaran yang lebih cepat daripada kelas reguler. Sehingga siswa akselerasi cenderung tertutup dan jarang bergaul daripada siswa reguler.


Diagram diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan kelas unggulan dan kelas akselerasi belum baik dengan banyaknya responden yang mencapai 90 anak yang sepakat mengatakan hal tersebut. Masih banyak kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di sekolah yang mengakibatkan pelaksanaan kelas unggulan dan kelas akselerasi tidak maksimal.

 
Diagram terakhir  diatas merupakan kesimpulan dari angket kami. 43% responden berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu mengadakan kelas unggulan dan kelas akselerasi di setiap sekolah. Karena akan memperbesar kesenjangan sosial yang sudah ada. Yang perlu dibenahi pada sistem pendidikan Indonesia adalah meningkatkan mutu SDM guru agar pendidikan Indonesia dapat meningkat secara merata.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1  Kesimpulan
        Berdasarkan hasil kajian pustaka dan pembahasan pada bab II dan III yang berkaitan dengan sistem pengelompokkan siswa atau kelas unggulan dan kelas akselerasi, program kelas unggulan dan kelas akselerasi memberi dampak-dampak negatif secara sosial bagi pelajar kelas unggulan dan kelas akselerasinya juga bagi pelajar reguler. Namun, sistem pendidikan program kelas unggulan dan kelas akselerasi ini perlu dibenahi dan diperbaiki agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial.

4.2 Saran
      4.2.1 Untuk Sekolah
1)  Membenahi pandangan atau paradigma dari sekolah dan masyarakat dalam memandang program kelas unggulan dan akselerasi. Oleh karena itu, sekolah penyelenggara kelas unggulan dan akselerasi harus terus membenahi diri dalam pelaksanaan akselerasi sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dari masyarakat.
2)  Sekolah terus membenahi diri dalam meningkatkan sumber daya tenaga pendidik, minimal dalam pemahaman tentang karakteristik anak cerdas istimewa. Dengan demikian maka guru secara individual bisa melakukan perbaikan metode dan sarana pembelajaran secara mandiri. Pemahaman guru dan orang tua akan pentingnya layanan untuk anak cerdas istimewa ini akan sedikit demi sedikit mendorong perubahan ke arah lebih baik dalam pengelolaan akselerasi.
3)  Sekolah tidak memperlakukan akselerasi secara berlebihan, kecuali dalam hal metode dan pendalaman materi. Perlakuan berbeda akan semakin membuat siswa akselerasi jauh dari lingkungan sekitarnya. Dan dana yang mungkin ditarik dari orang tua siswa akselerasi bisa dimanfaatkan untuk menambah kualitas guru dengan mengadakan workshop atau seminar tentang anak-anak berbakat atau metode pengajaran yang tepat bagi mereka.
4)   Memperketat penerimaan siswa program kelas unggulan dan kelas akselerasi. Proses rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional. Rekrutmen dilakukan dengan mengembangkan konsep keberbakatan dari Renzulli, Reis dan Smith (1978). Konsep itu menyebutkan bahwa anak berbakat mempunyai IQ minimal 125 menurut skala Wechsler, selain itu harus mempunyai task commitment dan creativity quotion di atas rata-rata. Sedangkan kelas akselerasi, IQ yang harus dimiliki siswanya minimal 130. Sekolah harus berkonsisten terhadap syarat utama tersebut. Dan tidak boleh menurunkan standar IQ tersebut karena kemampuan administrasi yang mampu membayar lebih dan ‘membeli’ kelas unggulan dan kelas akselerasi.
5)   Menciptakan kelas unggulan dan kelas akselerasi yang biayanya terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kelas unggulan dan kelas akselerasi identik dengan kemewahan dan keistimewaan di segala bidangnya. Dengan adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi yang biayanya terjangkau dan tidak mahal, maka memberi kesempatan bagi anak-anak yang tidak mampu untuk memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

 


 



 





 
 


 

1 komentar:

  1. Play Blackjack at a Casino! - Microgaming - Microgaming
    A classic 출장안마 card game https://febcasino.com/review/merit-casino/ is goyangfc a thrilling and engaging blackjack game at Microgaming. This 메이저 토토 사이트 fun game is now available for your device! 메이피로출장마사지

    BalasHapus