ABSTRAKSI
Sehubungan dengan diadakannya lomba karya ilmiah remaja
oleh TSC Telkomsel yang bertemakan “Pendidikan” kami sebagai penulis dalam hal ini siswi SMA Negeri 1 MADIUN menyusun
karya ilmiah pada tanggal 23 Agustus 2010 sampai 22 September 2010 yang
berjudul “Efektivitas Pelasksanaan Sistem
Pengelompokkan Siswa Secara Akademis (Program Kelas Unggulan dan Kelas
Akselerasi pada Sistem Pendidikan Indonesia)”. Adapun yang melatar belakangi
penulis untuk membuat judul seperti tersebut di atas, karena melihat sistem pendidikan di Indonesia yang melakukan
pengelompokkan kelas berdasarkan kemampuan peserta didiknya, dan mengakibatkan
dampak-dampak negatif di lingkungannya. Dalam pembahasan ini penulis
menggunakan metode analisa data, telaah pustaka yang berasal dari berbagai
literatur tentang kelas unggulan dan kelas akselerasi juga dengan metode angket
yang berisi 6 buah pertanyaan seputar kelas akselerasi dan kelas unggulan pada
105 siswa siswi di SMAN 1 Madiun, sesuai sub judul yang akan kami bahas. Hasil
analisis data angket menunjukkan angka yang menarik, 51% dari responden
mengatakan sistem pendidikan di Indoneesia kini sedang buruk. Dan pada
pertanyaan terakhir mengenai kelayakan kelas unggulan dan kelas akselerasi
dipertahankan di Indonesia, 43% responden sepakat bahwa kelas unggulan dan
kelas akselerasi tidak layak dan tidak perlu dilakukan di Indonesia. Fokus
utama hasil pembahasan dari perkiraan dampak keberadaan kelas unggulan dan
kelas akselerasi dikalangan masyrakat dan pelajar, ternyata pelaksanaan kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki
banyak dampak dari segi sosial dan dampak tersebut ternyata bukan diakibatkan
pada sistemnya, melainkan pelaksanaannya di sekolah. Berdasarkan analisis data,
siswa kelas unggulan dan kelas akselerasi akan mengalami kesulitan dalam
bergaul dikehidupan sehari-hari. Dan pelajar kelas reguler akan mengalami krisis
percaya diri akibat kesenjangan yang semakin terlihat dan tekanan guru yang
membanggakan kelas unggulan dan akselerasi. Dampak terburuk adalah identitas
kelas unggulan dan kelas akselerasi yang dipandang sebagai wadah penggarukkan
dana bagi siswa yang mampu dan kaya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada era reformasi ini, sistem pendidikan Indonesia
mengalami banyak perombakan dan perubahan. Dimulai dari meningkatnya standar
nilai Ujian Nasional, bertambahnya mata pelajaran yang diujiankan dan masih
banyak lagi. Namun, ada satu hal dari berbagai perubahan yang terjadi pada
sistem pendidikan negeri kita yang menimbulkan kontroversi dikalangan
masyarakat yakni, adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi. Banyak sekolah
lanjutan yang mengadakan kelas khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan daya
tangkap yang cepat, IQ yang tinggi, dan berotak cerdas. Murid-murid yang berada
didalam kelas khusus ini dituntut untuk memiliki kemampuan belajar yang tinggi daripada
murid kelas reguler. Menurut UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 5 Ayat 4 dikatakan
bahwa warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus. Disamping itu, juga dikatakan bahwa setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuanya (Pasal 12 Ayat 1 b).
Menurut seorang pakar pendidikan, Prof Dr Arief Rachman di sela seminar
“Mengajar Cerdas untuk Cerdas Belajar” di Jakarta, pemerintah mestinya
konsisten menjalankan tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam UU
Sisdiknas Pasal 3 mengenai kelas khusus. “UU dan tujuan di dalamnya sudah
bagus, hanya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahnya saja yang salah,”
ujar Arief. Murid kelas unggulan biasanya memiliki nilai rasa istimewa dimata
para guru di sekolah. Kemampuan yang lebih bagus, nilai yang tinggi, metode
pengajaran yang bagus, membuat kelas unggulan dan akselerasi semakin istimewa.
Namun sadarkah
bahwa kelas unggulan dan akselerasi menimbulkan banyak kesan dan dampak bagi orang
yang berada disekitar mereka? Pengistimewaan guru dan sekolah terhadap kelas
unggulan dan akselerasi ini membuat kelas reguler di-anaktiri-kan. Untuk di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) favorit
misalnya, penerimaan siswa (reguler) baru ditetapkan syarat NUN minimal 35,00
(misalnya). NUN 35,00 bukanlah NUN yang rendah. Namun, dengan NUN setinggi itu,
para murid SMP yang ingin melanjutkan ke SMA hanya dapat masuk di kelas reguler. Jika ingin
masuk kelas unggulan atau akselerasi, siswa harus memenuhi beberapa syarat lain
selain NUN yang lebih tinggi. Memenuhi administrasi yang lebih mahal, misalnya.
Padahal murid-murid yang memiliki IQ tinggi dan pintar bukan hanya mereka yang berasal
dari keluarga yang berada saja. Melainkan juga, mereka berasal dari keluarga
tak mampu.
Dari latar
belakang tersebut, penulis ingin mengungkapkan kelemahan dan kelebihan serta
dampak-dampak yang diakibatkan oleh adanya kelas unggulan dan kelas akselerasi
ini melalui karya tulis yang berjudul “Efektivitas
Sistem Pengelompokkan Siswa Secara Akademis”. Banyaknya kesenjangan sosial yang terjadi dalam di
sekolah khususnya antar siswa, menarik minat penulis untuk membahasnya dalam
karya tulis ini. Penulis juga akan membahas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh
kelas unggulan dan kelas akselerasi dan cara mengatasinya.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Apakah keberadaan
kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki dampak negatif secara sosial?
b.
Apakah kelas
unggulan dan kelas akselerasi layak dipertahankan keberadaannya di Indonesia?
1.3
Hipotesis
a.
Keberadaan kelas
unggulan dan kelas akselerasi memiliki dampak negatif secara sosial.
b.
Kelas unggulan
dan kelas akselerasi layak dipertahankan dan diteruskan di sekolah di
Indonesia, namun ada beberapa metode yang harus diubah dan diperbaiki.
1.4
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui
sistem pengajaran kelas unggulan dan kelas akselerasi yang sedang banyak
diterapkan;
b.
Mengetahui
dampak-dampak yang muncul dari keberadaan kelas unggulan dan kelas akselerasi;
c.
Memberikan solusi
dalam rangka upaya mengatasi kontroversi dan kesenjangan yang terjadi dikalangan
masyarakat terhadap kelas unggulan dan kelas akselerasi;
d.
Partisipasi
dalam mewujudkan program pendidikan pemerintah;
e.
Ikut mengambil
bagian dalam mengangkat reputasi SMA N 1 Madiun.
1.5
Manfaat Penulisan
a.
Bagi Penulis
Penulisan karya tulis
ini bermanfaat pada peningkatan wawasan terhadap sistem pendidikan Indonesia,
khususnya kelas unggulan dan kelas akselerasi.
b.
Bagi Masyarakat
Melalui penulisan ini,
masyarakat dapat mengerti dan mengetahui sistem pendidikan Indonesia, khususnya
kelas unggulan dan kelas akselerasi, serta tak memandang dari sisi negatifnya
saja.
c.
Bagi Pelajar
Mereka yang masuk dalam
program kelas unggulan dan akselerasi ini diharapkan mereka mampu memposisikan
dirinya dan tidak tinggi hati. Untuk pelajar reguler, mereka mengetahui kelebihan kelas unggulan
dan termotivasi terhadap kelas tersebut.
1.6
Ruang Lingkup
Dalam penulisan
ini, ruang lingkup pembahasan kami batasi pada kelas unggulan dan kelas
akselerasi tingkat Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dan Sekolah Menengah
Pertama Negeri (SMPN) di Indonesia, secara mayoritas. Dan dampaknya secara
sosial.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN
EFEKTIVITAS
Menurut
Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :
“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas
dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai,
makin tinggi efektifitasnya”.
Sedangkan pengertian efektifitas
menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35) adalah sebagai berikut :
“ Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau
sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Adapun
pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984) adalah :
“ Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai
dengan output yang diharapkan dari sejumlah input “.
2.2 PENGERTIAN SISTEM
Istilah
sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah
himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk
mencapai tujuan bersama.
Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :
Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :
1.
L. James Havery
Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
2.
John Mc Manama
Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
3.
C.W. Churchman.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.
4.
J.C. Hinggins
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.
5.
Edgar F Huse dan James L. Bowdict
Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan.
Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan.
2.3
PENGERTIAN PENGELOMPOKKAN
1.
Berdasarkan kemampuan
Ø Kemampuan
siswa dalam setiap pelajaran tidak sama. Bisa saja siswa yang kuat di bahasa,
ternyata lemah di matematika.
Ø Pengelompokkan
kemampuan siswa dapat berubah sewaktu-waktu dan berubah-rubah untuk setiap mata
pelajaran, bahkan untuk suatu konsep tertentu. Akan mudah bagi seorang guru
apabila siswa yang memilliki kemampuan yang sama berada duduk di meja yang
sama.
Ø Guru
dapat memotivasi dan menjelaskan materi pada saat yang bersamaan. Guru dapat
berkeliling untuk melihat sejauh mana perkembangan kemampuan setiap siswa.
Ø Contoh
Pengelompokkan berdasarkan kemampuan adalah adanya kelas unggulan dan kelas
akselerasi.
ü Kelas
Unggulan
Kelas
Unggulan adalah kelas yang dipersiapkan secara dini untuk pengembangan kelas
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Memiliki sejumlah siswa dengan minat, bakat,
kemampuan, dan kecerdasan yang tinggi.
2.
Diasuh oleh sejumlah pembimbing/guru/tutor yang
profesional dan handal di bidangnya.
3.
Melaksanakan kurikulum dengan menekankan pada mata
pelajaran Matematika, IPA, Seni, Olahraga, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan
Ketrampilan Komputer.
4.
Didukung sarana dan prasarana yang memadai, antara
lain :
a.
Kelas yang nyaman dan representatif.
b.
Laboratorium IPA, Bahasa dan Komputer.
c.
Ruang Pusat Belajar Sekolah (PBS) multimedia yang
dilengkapi dengan sistem audiovisual yang lengkap.
d.
Perpustakaan yang memiliki minimal 2.000 judul buku
yang relevan dan ruang yang cukup luas untuk belajar sendiri.
e.
Lapangan olahraga dan atau ruangan yang dapat
meningkatkan kebugaran jasmani dan peningkatan prestasi.
f.
Ruang pengembangan minat dan bakat siswa lengkap
dengan peralatan yang dibutuhkan.
g.
Suasana belajar dan lingkungan yang kondusif.
h.
Buku belajar, diktat dan bang soal latihan yang
menunjang.
i.
Waktu belajar Senin s/d Sabtu jam 14.00 s/d 15.30 Wib.
j.
Jumlah siswa di kelas antara 20 s/d 30 siswa menjadi
lebih efektif.
k.
Di dalam kelas dilengkapi dengan alat pembelajaran
yang lengkap dan memadai.
ü Kelas
Akselerasi
Menurut
Dr.E.Mulyasa (2003:161) akselerasi berarti belajar dimungkinkan untuk
diterapkan sehingga siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dapat
menyeleseikan pelajarannya lebih cepat dari masa belajar yang ditentukan.
Akselerasi belajar tidak sama dengan loncat kelas sebab dalam akselerasi
belajar setiap siswa tetap harus mempelajari seluruh bahan yang seharusnya
dipelajari. Akselerasi dapat dilakukan dengan bantuan modul atau lembar kerja
yang disediakan sekolah. Melalui akselerasi belajar peserta didik yang
berkemampuan tinggi dapat mempelajari seluruh bahan pelajaran dengan lebih
cepat dibandingkan peserta didik yang lain.
Menurut Mimin
Haryati (2006:95-96), akselerasi berarti percepatan belajar sebagai implikasi
dari system belajar tuntas ( master learning) juga menunjukkan adanya siswa
yang memiliki kecerdasan luar biasa dan mampu mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan jauh lebih cepat dan mempunyai nilai yang amat baik (>95)
Menurut Drs. B.
Suryo Subroto (1997:123) akselerasi dikienal dengan nama maju berkelanjutan
yang artinya adalah system administrasi kurikulum yang memberikan kesempatan
pada setiap siswa dapat mengikuti pelajaran sesiau irama kecepatan belajrnya
sendiri. Maju berkelanjutan dibagi menjadi 3 sistem, yaitu :
1. Maju berkelanjutan kelompok
2. Maju berkelanjutan individu
3. Maju berkelanjutan berdasarkan perbedaan studi
Program
Akselerasi adalah sebuah program percepatan waktu belajar yang
diadakan oleh sekolah.
Program ini ditujukan kepada siswa-siswi dengan kemampuan belajar yang lebih,
sehingga dapat mempersingkat waktu belajarnya di sekolah. Siswa-siswi yang
masuk dalam program ini biasanya memiliki kemampuan menyerap informasi dengan
cepat dan kemampuan mengendalikan masalah-masalah emosionalnya Oleh karena itu
diperlukan tahapan-tahapan seleksi untuk menguikuti program ini (percepatan
belajar).
Kelas akselerasi (aksel) merupakan
wadah pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki potensi dan keunggulan dalam
kecakapan, minat, dan bakat. Keistimewaan program akselerasi memang tidak bisa
diremehkan. Salah satu program pendidikan luar biasa (PLB) ini diisi anak-anak
yang memiliki IQ di atas 125.
2. Berdasarkan kegiatan
Ø Pada
proses belajar dengan jenis pengelompokkannya berdasarkan kebutuhan saja.
Ø Pada
saat pengelompokkan, bisa saja berubah-rubah kapan saja dan anggota kelompok
bisa tidak sama dimana tujuan akhirnya adalah ke pekerjaan yang ditugaskan.
Tugas kelompok akan sangat baik bagi siswa karena akan berpengaruh terhadap
pembentukan karakter.
Ø Dalam
tugas kelompok, siswa akan belajar menjadi seorang pemimpin, anggota kelompok
yang baik, bagaimana harus mendengarkan pendapat temannya, memberikan usulan
dan sebagainya.
3.
Berdasarkan Sosial Emosional
Ø Tidak
semua siswa memiliki kematangan emosi yang sama, sifatnya pun berbeda pula.
Untuk membantu sosial emosional siswa, guru dapat mengelompokkan mereka dengan
melihat karakter yang ada. Misalnya, untuk siswa yang pemalu dapat
dikelompokkan dengan siswa yang agak berani, agar termotivasi dalam
mengekspresikan diri.
Ø Kegiatan
yang diberikan dapat berupa kegiatan apa saja. Pengelompokkan ini harus
direncanakan pula dalam penulisan lesson plan, dan akan sangat bermanfaat pada saat
memberikan laporan kepada orang tua murid.
Ø Banyak
orang melupakan perkembangan sosial emosional siswa, padahal hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap learning style siswa bersangkutan.
BAB III
PEMBAHASAN DAN
ANALISIS DATA
3.1 Kelas Unggulan dan Kelas Akselerasi
Setiap
akhir tahun dan menjelang kelulusan, siswa SD dan SMP yang hendak melanjutkan
belajarnya ke sekolah lanjutan mulai memilah-milah sekolah-sekolah lanjutan
yang baik dan berkualitas. Tak heran bila sekolah favorit selalu menjadi
incaran para murid dan orang tua. Orang tua mana yang tak ingin anaknya
melanjutkan studinya ke sekolah yang bagus dan bermutu. Sekolah-sekolah pun
mulai melakukan penataan kelas sesuai dengan kemampuan peserta didiknya.
Pembedaan kelas sesuai kemampuan peserta
didik, seperti kelas unggulan masih menjadi kontroversi. Banyak yang setuju,
dan tak sedikit yang menentang. Prof Suyanto -Rektor Universitas
Negeri Yogyakarta- dengan tegas menyatakan pengelompokan siswa secara homogen
berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik,
sedang, kurang, sampai ke kelas “gombal”, tidak memiliki dasar filosofi yang
benar.
Meletakkan
siswa jenius dalam kelas unggulan tak jauh berbeda dengan pengertian
memperbodoh kelas reguler. Jika semua siswa jenius dan cerdas berada di kelas
unggulan dan kelas akselerasi, maka siswa yang berada di kelas reguler adalah
siswa buangan dengan kemampuan yang rendah.
Beberapa
sekolah yang tak menggunakan sistem kelas unggulan dan kelas akselerasi bukan berarti
mereka tak memiliki murid yang cerdas didalamnya. Namun sekolah tersebut
meratakan murid-murid cerdas tersebut dalam tiap-tiap kelasnya. Prinsip manusia
makhluk sosial tak dapat terlepas dari diri manusia sendiri. Baik kecil maupun
dewasa, manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan. Sama halnya pada murid
di sekolah. Murid yang kurang pandai akan berusaha bertanya dan belajar dengan
teman sepermainannya dikelas yang lebih cerdas darinya. Namun hal ini akan
percuma apabila murid cerdas di sekolah tersebut diletakkan pada kelas unggulan
atau kelas akselerasi. Murid yang pintar akan semakin pintar sedangkan murid
yang motopolodu (bodoh) akan semakin memburuk dan tak bisa membaik.
Dampak lain
yang tak kalah menonjol adalah pengistimewaan yang dilakukan guru dan sekolah
terhadap kelas unggulan dan kelas akselerasi
secara berlebihan. Sekolah yang telah memiliki kelas unggulan dan kelas
akselerasi tidak menggunakan guru yang berbeda untuk mengajar dikelas unggulan
dan kelas reguler. Kalaupun menggunakan guru yang tidak mengajar di kelas
reguler, itupun hanya beberapa guru saja. Dan guru yang mengajar di kelas unggulan
atau kelas akselerasi lebih baik dan lebih bermutu daripada yang mengajar di
kelas reguler. Guru yang mengajar di dua kelas ini cenderung membanggakan kelas
unggulan daripada kelas reguler. Oleh karena itu, guru sering membandingkan
antara kelas unggulan dan kelas reguler. Padahal tanpa dibandingkanpun, kelas
unggulan dan kelas reguler sudah tampak sangat berbeda. Gurupun tidak menyadari
dampak psikologi yang terjadi pada kelas reguler. Niat para guru yang awalnya
membangkitkan motivasi siswa reguler, justru menjatuhkan semangat dan harapan mereka. Setiap guru dan sekolah di Indonesia, baik di
pusat maupun di desa, yang mengadakan
program kelas unggulan dan kelas akselerasi memiliki niat dan tujuan yang baik
yakni memacu semangat para peserta didik untuk berlomba dan beradu otak menjadi
siswa yang terbaik ada di kelas yang istimewa ini. Namun, dengan adanya kelas
unggulan dan kelas akselerasi ini, mereka seakan lupa bahwa seluruh siswa di
Indonesia memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu dengan taraf dan standar
nasional.
Dalam proses
pembelajaran, pengelompokan secara kemampuan per kelas juga akan menumbuhkan
perilaku instruksional yang semu dari guru kepada anak didiknya. Di kelas
superbaik, guru bisa tampil penuh gairah karena munculnya fenomena positive hallow effect terhadap
anak-anak berotak “brilian”. Sebaliknya, di kelas “gombal” guru cenderung masa
bodoh akibat munculnya fenomena negative
hallow effect terhadap kelompok siswa berotak pas-pasan. Guru menjadi malas
dan menganggap mereka yang tidak berada di kelas superbaik, adalah murid yang
sangat bodoh dan berotak lemah (lemot). Padahal mereka yang berada dikelas non
unggulan bukan berarti mereka bodoh. Justru mereka adalah anak Indonesia sesungguhnya
yang memiliki otak dan kemampuan rata-rata normal. Diberlakukannya kelas
unggulan dan kelas akselerasi adalah sebagai wadah bagi mereka yang memilki
kemampuan istimewa dan lebih cepat dari mereka yang normal. Namun, hal ini bukan
berarti mereka adalah siswa segalanya yang super bisa dan super pintar
sedangkan mereka yang dikelas reguler adalah siswa yong bodoh.
3.2 Spesifikasi Dampak Kelas Unggulan dan Kelas Akselerasi
Keberadaan
kelas unggulan dan akselerasi di sekolah banyak menuai pro dan kontra.
Sesungguhnya, pro dan kontra yang ada bisa diatasi, apabila sekolah yang bersangkutan
memang menyetarakan kualitas peserta didik secara adil dan bijaksana. Adanya
kelas unggulan atau kelas akselerasi menuai banyak protes karena mereka
diibaratkan mutiara ditengah lumpur. Sebutan kelas unggulan itu sendiri kurang
tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang
lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja
ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan
sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential
(Susan Albers Mohrman, et.al., School
Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).
Mereka merasa sekolah tempat mereka menuntut ilmu adalah favorit, tetapi bukan
karena keberadaan kelas reguler yang jumlahnya lebih banyak dari kelas unggulan
melainkan karena anak-anak cerdas di kelas unggulan. Akibat negatif yang
ditimbulkan oleh eksklu(sifi)sasi/pengistimewaan anak cerdas tersebut adalah
sebagai berikut;
a.
SPIRIT KOMPETISI
Terbunuhnya semangat kompetisi di kalangan siswa yang berkapasitas otak
‘rata-rata’ ke bawah. Ini menyangkut faktor psikologis, kepercayaan diri, motivasi.
Memang, maksud diciptakannya kelas dan sekolah eksklusif seperti itu agar para
siswa termotivasi untuk masuk ke dalamnya. Tetapi apa yang terjadi, justru
lebih banyak siswa yang semakin minder dan bersikap pasrah saja melihat
kemajuan kawan-kawannya. Contohnya, di setiap jenis perlombaan yang digelar,
hampir bisa dipastikan bahwa sekolah unggulan dan atau kelas khusus senantiasa
mendominasi. Dalam meeting class internal sekolah, misalnya, kelas khusus
selalu menjadi yang terbaik; dari lomba cerdas-cermat per mata pelajaran, lomba
pidato, lomba majalah dinding, bahkan mungkin sampai lomba kreatifitas
masak-memasak. Harapan satu-satunya bagi kelas reguler mungkin hanya dalam
lomba olah raga—itu pun gelar juaranya berpeluang ‘disikat’ pula oleh murid
dari kelas khusus.
Pada akhirnya siswa-siswa yang tidak duduk di kelas khusus putus asa.
Mereka tak lagi pernah menargetkan diri menjadi yang terbaik. Target termuluk
bagi mereka adalah menjadi nomor dua di bawah kelas khusus. Kasihan. Padahal
berputus asa untuk menjadi yang terbaik hukumnya adalah haram. Sayang sekali
pengalaman para siswa itu selalu menunjukkan bahwa predikat terbaik itu ‘wajib’
merupakan milik kelas khusus.
Pembentukan kelas unggulan dan kelas akselerasi secara tidak disadari telah
membunuh spirit kompetisi bagi mayoritas siswa. Entah sampai kapan
ketidakpercayaan-diri itu tumbuh dan berkembang dalam sanubari sebagian besar
calon-calon SDM pembangun daerah ini.
b.
TRANSFER OF KNOWLEDGE
Tidak terjadi transfer of knowledge
dari siswa cerdas kepada siswa tak cerdas. Ini menyangkut metode komunikasi
untuk memasukkan mata pelajaran ke dalam otak siswa. Bahasa yang digunakan oleh
buku dan para guru umumnya mendapat perhatian dan dimengerti hanya oleh
murid-murid cerdas. Murid-murid lain baru dapat memberi perhatian lalu mengerti
pelajaran-pelajaran tersebut jika dijelaskan oleh kawannya sendiri dengan
bahasa mereka sendiri. Bukankah itu tujuan utama dari belajar kelompok?
Namun, ketika anak-anak cerdas itu ‘dikarantina’ di kelas unggulan dan
kelas akselerasi, kelompok-kelompok belajar yang dibentuk oleh siswa lainnya
justru menjadi tidak efektif. Bagaimana bisa efektif jika anggota kelompoknya
sama-sama tak mengerti dengan pelajarannya? Sementara kelompok belajar di
kelas-kelas khusus juga tidak efektif. Apalagi mereka sudah sama-sama mengerti
pelajarannya—lalu untuk apa lagi belajar kelompok?
Siswa kelas unggulan atau kelas akselerasi cenderung menjadi individual
learner. Dia memang bertambah pandai dengan cara itu. Tetapi bukankah dia
menjadi jauh lebih cerdas bila mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada
kawan-kawan yang belum mengerti? Dengan begitu dia menjadi lebih berguna
daripada sekadar menjadi anak pintar.
c.
KEPEKAAN SOSIAL
Tidak terasahnya kepekaan sosial dari siswa-siswa yang cerdas. Siapa saja
tentu menjadi lebih dekat secara personal tatkala sering bersua. Ketika
anak-anak cerdas disatukan dalam sebuah kelas atau sekolah, mereka terbiasa
bergaul sesama anak cerdas dengan menggunakan bahasa dan perilaku yang lebih
cerdas daripada kelas atau sekolah lainnya. Pendek kata, kelas khusus seakan
lebih berperadaban daripada kelas lain. Sedangkan kelas biasa yang jumlahnya
lebih banyak itu terkesan relatif lebih bebas bergaul dibanding kelas khusus.
Coba tanyakan kepada polisi yang sering menangkap anak-anak lauka
(pembolos) yang nongkrong di Pasar Sentral. Adakah di antara murid yang tertangkap
itu masuk dalam kelas unggulan atau kelas akselerasi? Tentu tidak pernah ada.
Kenapa bisa jadi begitu? Sebab kondisi di sekolah tidak memberikan peluang bagi
bersatunya anak-anak cerdas dengan anak-anak yang tidak cerdas. Dan hal itu
menjadi salah satu pemantik rasa minder di hati anak tak cerdas dan berujung
pada pembolosan.
Sementara itu para siswa kelas unggulan dan kelas akselerasi semakin menghampiri keadaan ‘buta sosial’.
Mereka tidak terbiasa hidup dan bergaul dengan kawan sebayanya yang kurang
cerdas. Padahal manusia-manusia yang kurang cerdas itulah yang akan menjadi
konstituen terbesar mereka kelak di kemudian hari bila mereka menjadi pemimpin.
Kepekaan sosialnya minim.
Terlebih kelas akselerasi yang mempersingkat ‘umur’ mereka. Dalam waktu 2
tahun, siswa akselerasi tentu kesulitan membuka pergaulannya karena tuntutan
belajar yang cepat. Siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk
belajar mengembangkan aspek afektif. Padatnya materi yang harus mereka terima,
banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan
intelektual yang mereka miliki dan teman-teman sekelas yang rata rata pandai,
membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka
selesaikan sendiri.
Hal inilah yang menimbulkan kesan siswa akselerasi cenderung tertutup dan
menutup diri. Sehingga kepekaan sosial siswa akselerasi cenderung rendah.
Memang kita bisa berdalih bahwa kepekaan sosial itu bisa timbul dengan
sering mengunjungi panti-panti asuhan, misalnya. Tetapi, sebetulnya kepekaan
sosial itu bisa terasah dengan baik bila si anak yang cerdas itu hidup dan
bersatu dengan lingkungan umum. Itulah yang tidak mereka peroleh di kelas
unggulan dan di kelas akselerasi.
Murid kelas unggulan atau kelas akselerasi cenderung membangun pola pikir
empirik. Mereka nantinya lebih siap menjadi seorang spesialis daripada seorang
jeneralis. Bila pola pikir itu mereka pertahankan sampai di bangku kuliah,
anak-anak jenius itu bakal menjadi ahli di bidang ilmu pasti. Padahal untuk
menjadi seorang pemimpin, dia harus berfikir dan bertindak jeneralis—dan untuk
dapat melakukan itu maka si calon pemimpin mesti memiliki modal kepekaan sosial
yang tinggi.
d.
KESENJANGAN
Kelas unggulan dan kelas akselerasi hanya menambah kesenjangan sosial yang tajam sekarang ini. Sebagai contoh, murid-murid
MAN Insan Cendekia (MIC) dan SMU Wirabakti di Gorontalo, hampir tidak ada yang
berasal dari kelas ekonomi lemah. Mayoritas siswa tersebut memiliki orang tua
yang ber-uang misalnya pejabat eksekutif daerah, anggota dewan, kontraktor atau
pengusaha non kontraktor. Mereka dengan mudah dapat memperoleh fasilitas
pribadi seperti buku pedoman belajar, internet, sampai penggaris canggih.
Sementara, murid di kelas reguler sekolah negeri kebanyakan tidak memiliki
itu semua. Bahkan, ada kelas yang semua siswanya berasal dari kerluarga tidak
mampu. Kalau pun ada anak-anak cerdas dan memiliki fasilitas, mereka sudah
eksklusif di kelas khusus.
Kualitas guru yang bagus, sistem belajar yang baik, dan segala fasilitas
yang mewah belum tentu dapat membuat siswa berprestasi jika siswa yang masuk di
kelas itu bukanlah siswa yang pandai.
Tampaknya kita lengah oleh ambisi kita untuk menciptakan anak-anak cerdas
di daerah ini. Hal ini disebebkan kita tidak ikut menciptakan pemerataan
kecerdasan itu. Kecerdasan seakan hanya dimiliki anak orang berada. Kita
terjebak lingkaran setan yang sudah ada sejak jaman Belanda; “Karena miskin maka bodoh, karena bodoh maka
miskin”. Perbedaan kita dengan penjajah Belanda adalah kompeni sengaja menciptakan
lingkaran setan itu sedangkan kita tidak sengaja. Ketika Indonesia masih belum
merdeka, Belanda pun menciptakan sekolah bagi kaum bangsawan dan orang kaya.
e.
DEHUMANISASI
Terjadi dehumanisasi pada proses belajar di sekolah. Materi pelajaran yang
diselesaikan oleh siswa reguler selama satu hanya dipelajari siswa akselerasi
selama satu semester (setengah tahun). Dengan alokasi waktu yang jauh lebih
pendek ini mau tidak mau siswa harus giat belajar. Hal ini bagi mereka memang
memungkinkan karena dilihat dari segi intelektual dan potensi yang dimiliki. Tetapi,
mereka bukanlah mesin yang bisa diset untuk hanya melakukan satu aktivitas.
3.3 Kelas
Unggulan sebagai Penyubur Mediokritas
Lain halnya
dengan pendapat kelompok yang pro kelas unggulan, Prof Liek Wilardjo -fisikawan
dari UKSW- justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, anak-anak berbakat dan
berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat
menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya.
Jika
anak-anak berbakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan
kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang
lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika
dibiarkan bersaing dengan siswa-siswa pintar.
Kelas
heterogen justru akan mempersubur mediokritas. Anak-anak cemerlang tidak bisa
mengembangkan talenta dan kecerdasannya sehingga anak-anak tersebut mengalami
stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara, anak-anak lamban hanya “jalan
di tempat”.
Kekhawatiran
bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder
dianggap terlalu berlebihan. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas
tersendiri – seperti halnya yang terjadi di Inggris – justru diyakini dapat
memudahkan penanganannya secara khusus. Pandangan Prof Liek Wilardjo senada
dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum
berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu
mendapatkan perhatian khusus.
Menurut Prof
Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan
yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai
sosio-kultural.
Hal diatas adalah salah satu kelebihan diadakannya kelas unggulan dan kelas
akselerasi. Sistem Pendidikan Indonesia dipandang cenderung latah terhadap
sistem pendidikan di Inggris yang menerapkan sistem kelas khusus ini. Indonesia
menerapkan tanpa memerhatikan kondisi sosial dan ekonomi yang ada di kalangan
generasi penerusnya.
Kalau hal ini terjadi, dunia pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan
dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Implikasinya, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah
generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin
kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membuat mereka
menjadi asing di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”. Tidak
memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di
sekelilingnya.
Masih banyak
daerah yang tingkat kebodohannya tinggi
dan tidak tersentuh penanganan pendidikan
pemerintah. Sedangkan di kota-kota besar persaingan antar sekolah meningkat
tajam. Sehingga menghasilkan ratusan murid cerdas secara tidak merata. Apabila
ini terjadi, akan berimbas pada kesenjangan kemajuan kota dan daerah di
Indonesia. Di kota besar banyak murid pandai, sedangkan pada daerah yang tidak tersentuh
pendidikan akan semakin terbelakang. Ada beberapa faktor yang harus dicapai
bila sekolah tersebut bisa dikategorikan sekolah unggul:
1.
Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional
Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman
dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah
yang maju namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah.
Penelitian Standfield, dkk (1987) selama 20 bulan di
Sekolah Dasar Garvin Missouri dan Gibbon (1986) di sekolah-sekolah negeri di
Ohio selama tahun ajaran 1982/1983, keduanya menemukan bahwa peran kepala
sekolah yang efektif dan profesional mampu mengangkat nama sekolah mereka
sehingga mampu memperbaiki prestasi akademik mereka.
2. Guru-guru
yang tangguh dan profesional
Guru merupakan ujung tombak kegiatan
sekolah karena berhadapan langsung dengan siswa. Guru yang profesional mampu
mewujudkan harapan-harapan orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan
sehari-hari di dalam kelas.
3. Memiliki
tujuan pencapaian filosofis yang jelas
Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi
seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan
dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah.
4. Lingkungan
yang kondusif untuk pembelajaran
Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas
dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah
sawah, di bawah pohon atau di dalam gerbong kereta api -siapa yang sudah baca
Toto Chan?- Yang jelas lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang
dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa
5. Jaringan
organisasi yang baik
Jelas, organisasi yang baik dan solid baik itu
organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya
untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi
tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan
harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas.
6. Kurikulum
yang jelas
Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang
sentralistik dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional.
Dengan hanya memuat 20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan
mengajar guru dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga
sentralistik menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan
budayanya.
Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan
kurikulum disesuaikan di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat
kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan
pembelajaran diserahkan kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan
target pencapaian pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan
dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya.
Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian
mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya mampu
dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.
7. Evaluasi
belajar yang baik berdasarkan acuan patokan
Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan
dapat teridentivikasi dan dapat terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga
evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.
8.
Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.
Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan
orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah
memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada
proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum
sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam
mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin
sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah.
Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat, yang
tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara
perorangan. Namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM
Indonesia.
3.4
Kekeliruan Kelas Akselerasi
Kelas
akselerasi baru resmi diakui dengan keluarnya beleid Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah pada 2000. Saat itu Depdiknas menetapkan sebelas sekolah sebagai
penyelenggara kelas akselerasi. Namun, pada tahun 2004 saja sudah tercatat ada
56 kelas akselerasi tersebar di berbagai sekolah di daerah. Diperkirakan pada
tahun 2010, Terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat TK hingga SMA di
Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan murid lebih
dari 3.000 orang.
Berikut data
jumlah SMPN dan SMAN yang memiliki kelas akselerasi yang ada di beberapa kota-kota besar/ ibukota provinsi.
Nama Kota
|
Jumlah Sekolah
Berakselerasi
|
Jakarta
|
6
|
Surabaya dan sekitarnya
|
6
|
Semarang
|
4
|
Makassar
|
3
|
Madiun
|
4
|
Keberadaan
kelas akselerasi di tiap kota menunjukkan angka yang tinggi. Bila di setiap
kota di Indonesia memiliki SMPN dan SMAN yang berakselerasi mencapai 3-5
sekolah, bisa dibayangkan betapa menjamurnya kelas akselerasi di Indonesia. Kepada
dunia pendidikan Indonesia, akselerasi harus mampu membuktikan bahwa program ini
bukanlah sekedar program coba-coba atau trial and error yang memang
senantiasa menjadi ciri khas dunia pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan
harus mengakui bahwa akselerasi mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki
kompetensi yang sejajar atau bahkan lebih dari lulusan yang ada selama ini.
Bahkan, program ini harus mampu menjadi sebuah proyek percontohan bagi
jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus di
Indonesia. Dengan keberanekaragaman kebutuhan khusus peserta didik, sekolah
harus terus dipacu untuk mampu meningkatkan layanan kepada mereka yang unik dan
memiliki karakter khas sebagai pengakuan kepada peserta didik secara utuh.
Kepada bangsa Indonesia, mungkin program ini harus mampu menunjukkan sebuah
karya nyata bagi bangsa dengan menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi
masyarakat atau memberikan catatan prestasi tinggi di dunia internasional
sehingga mampu mengangkat nama bangsa dikancah pendidikan internasional.
Namun
pelaksanaan program Akselerasi tak jauh berbeda dengan program kelas unggulan
yang menuai pro dan kontra. Program Akselerasi pun mengalami banyak kekeliruan
pada praktik lapangannya. Beberapa kekeliruannya yaitu :
a.
Menurunkan standar minimal bagi siswa dalam mengikuti program ini. Misalnya standar minimal IQ yang
seharusnya minimal 130 skala Cettel diturunkan menjadi 120-125 dengan maksud
untuk menambah jumlah siswa yang dapat mengikuti program akselerasi. Selain
IQ, perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap indikator lainnya seperti Task
Commitment dan Creativity Quotient. Atau merekayasa indikator
lainnya, seperti hasil test akademis yang minimal 8 menjadi cukup hanya dengan
angka 7 atau dengan tidak menjadikan track record (misalnya indeks
raport) siswa selama di SD sebagai bahan pertimbangan.
Kekeliruan ini melahirkan anggapan bahwa program
akselerasi sebagai program asal coba dan asal jadi yang membebani siswa dengan
beban akademis yang tinggi dan tugas yang banyak. Padahal apabila proses
penjaringan dan penyaringan berjalan sesuai aturan dan prosedur, siswa akan
mampu mengikuti program ini dengan sangat-sangat baik.
b.
Sekolah menawarkan pilihan kepada siswa
atau orang tua untuk mengikuti program akselerasi atau tidak. Padahal program
akselerasi bukanlah program pilihan karena program ini harus memenuhi standar
yang telah baku dan bersifat menetap, yaitu IQ. Dengan menawarkan pilihan, maka
dimungkinkan siswa yang tidak memenuhi standar IQ dapat mengikuti program ini
selama memenuhi syarat “administrasi” kepada sekolah.
Kekeliruan ini membuat
masyarakat menaruh curiga terhadap program akselerasi yang seolah-olah menjadikan
program ini sebagai ajang untuk mengeruk dana dari orang tua siswa.
c.
Program Akselerasi dianggap sebagai icon atau simbol prestise maka sekolah
memberikan beberapa keisitimewaan seperti fasilitas atau sarana belajar yang
lebih lengkap di kelas akselerasi. Kesenjangan ini akan menimbulkan kecemburuan
dari kelas lain yang merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama namun
diperlakukan berbeda. Alasan sekolah melakukan keistimewaan disebabkan karena
alasan dana. Biasanya di sekolah tertentu karena siswa akselerasi dipungut biaya
pendidikan lebih dari kelas reguler, sekolah menganggap bahwa penambahan fasilitas untuk kelas
akselerasi menjadi sesuatu yang wajar. Padahal tanpa fasilitas dan perlakukan yang berbeda sekalipun secara
psikologis dan pergaulan siswa akselerasi telah merasa berbeda dengan kelas
lainnya.
Dampak dari
perbedaan perlakuan ini akan semakin memperdalam jurang perbedaan antara
program akselerasi dengan program reguler yang akhirnya dapat menciptakan suasana belajar yang kurang kondusif bagi
siswa.
3.5 Analisis Data
Angket
Dalam penelitian ini, kami juga menggunakan metode
angket untuk melengkapi penelitian kami. Hari Senin-Selasa, 20-21 September
2010 lalu, kami membagikan angket kepada 105 siswa/i kelas akselerasi, kelas
unggulan dan kelas reguler, berkaitan dengan kelas unggulan dan kelas
akselerasi. Berikut diagram hasil data kami.
Diagram diatas menunjukkan bahwa 51% dari sampel mengatakan
sistem pendidikan Indonesia masih buruk dan perlu dibenahi. Dan angka yang tak
jauh berbeda adalah 44% sampel yang mengatakan sistem pendidikan Indonesia
biasa, tidak buruk dan juga bukan baik.
Diagram diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menyetujui
adanya sistem pengelompokkan(kelas unggulan dan kelas akselerasi) karena siswa
yang memiliki kemampuan berbeda harus berada di kelas yang memiliki sistem yang
berbeda pula namun mereka pun sepakat bahwa program ini tidak boleh menyebabkan
kesenjangan sosial agar murid-murid yang berada didalam kelas khusus dan kelas
reguler tidak merasa berbeda satu sama lain.
Diagram diatas menunjukkan 55% sampel berpendapat bahwa kelas
unggulan mampu memengaruhi minat belajar
di kelas reguler menjadi lebih semangat dan termotivasi. Dan 40% berpendapat
bahwa klas reguler cenderung minder dan pesimis untuk dapat bersaing dengan
kelas unggulan.
Pada diagram diatas, 59% sampel berpendapat bahwa kelas
akselerasi akan mengalami kesulitan bergaul daripada siswa kelas reguler.
Karena lama belajar siswa akselerasi yang lebih cepat dan dituntut mengejar
materi pelajaran yang lebih cepat daripada kelas reguler. Sehingga siswa
akselerasi cenderung tertutup dan jarang bergaul daripada siswa reguler.
Diagram diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan kelas unggulan
dan kelas akselerasi belum baik dengan banyaknya responden yang mencapai 90
anak yang sepakat mengatakan hal tersebut. Masih banyak kekeliruan-kekeliruan
yang terjadi di sekolah yang mengakibatkan pelaksanaan kelas unggulan dan kelas
akselerasi tidak maksimal.
Diagram terakhir
diatas merupakan kesimpulan dari angket kami. 43% responden berpendapat
bahwa Indonesia tidak perlu mengadakan kelas unggulan dan kelas akselerasi di
setiap sekolah. Karena akan memperbesar kesenjangan sosial yang sudah ada. Yang
perlu dibenahi pada sistem pendidikan Indonesia adalah meningkatkan mutu SDM
guru agar pendidikan Indonesia dapat meningkat secara merata.
BAB IV
SIMPULAN DAN
SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil kajian pustaka dan pembahasan pada bab II dan III yang berkaitan dengan
sistem pengelompokkan siswa atau kelas unggulan dan kelas akselerasi, program
kelas unggulan dan kelas akselerasi memberi dampak-dampak negatif secara sosial
bagi pelajar kelas unggulan dan kelas akselerasinya juga bagi pelajar reguler. Namun,
sistem pendidikan program kelas unggulan dan kelas akselerasi ini perlu dibenahi
dan diperbaiki agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial.
4.2 Saran
4.2.1
Untuk Sekolah
1) Membenahi pandangan
atau paradigma dari sekolah dan masyarakat dalam memandang program kelas unggulan dan akselerasi. Oleh karena itu, sekolah penyelenggara kelas
unggulan dan akselerasi harus terus membenahi diri dalam pelaksanaan akselerasi sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman dari masyarakat.
2) Sekolah terus membenahi diri dalam meningkatkan sumber
daya tenaga pendidik, minimal dalam pemahaman tentang karakteristik anak cerdas
istimewa. Dengan demikian maka guru secara individual bisa melakukan perbaikan
metode dan sarana pembelajaran secara mandiri. Pemahaman guru dan orang tua
akan pentingnya layanan untuk anak cerdas istimewa ini akan sedikit demi
sedikit mendorong perubahan ke arah lebih baik dalam pengelolaan akselerasi.
3) Sekolah tidak memperlakukan akselerasi secara berlebihan, kecuali
dalam hal metode dan pendalaman materi. Perlakuan berbeda akan semakin membuat
siswa akselerasi jauh dari lingkungan sekitarnya. Dan dana yang mungkin ditarik
dari orang tua siswa akselerasi bisa
dimanfaatkan untuk menambah kualitas guru dengan mengadakan workshop atau
seminar tentang anak-anak berbakat atau metode pengajaran yang tepat bagi
mereka.
4) Memperketat penerimaan siswa
program kelas unggulan dan kelas akselerasi. Proses rekrutmen untuk
melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional. Rekrutmen dilakukan
dengan mengembangkan konsep keberbakatan dari Renzulli, Reis dan Smith (1978).
Konsep itu menyebutkan bahwa anak berbakat mempunyai IQ minimal 125 menurut
skala Wechsler, selain itu harus mempunyai task commitment dan creativity
quotion di atas rata-rata. Sedangkan kelas akselerasi, IQ yang harus
dimiliki siswanya minimal 130. Sekolah harus berkonsisten terhadap syarat utama
tersebut. Dan tidak boleh menurunkan standar IQ tersebut karena kemampuan administrasi
yang mampu membayar lebih dan ‘membeli’ kelas unggulan dan kelas akselerasi.
5) Menciptakan
kelas unggulan dan kelas akselerasi yang biayanya terjangkau bagi masyarakat
ekonomi menengah ke bawah. Kelas unggulan dan kelas akselerasi identik dengan kemewahan
dan keistimewaan di segala bidangnya. Dengan adanya kelas unggulan dan kelas
akselerasi yang biayanya terjangkau dan tidak mahal, maka memberi kesempatan
bagi anak-anak yang tidak mampu untuk memiliki kemampuan intelektual yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Play Blackjack at a Casino! - Microgaming - Microgaming
BalasHapusA classic 출장안마 card game https://febcasino.com/review/merit-casino/ is goyangfc a thrilling and engaging blackjack game at Microgaming. This 메이저 토토 사이트 fun game is now available for your device! 메이피로출장마사지